karya: Sapardi Djoko Damono
Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,
tak ada huruf kapital di awalnya.
Yang tak kita ingataksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;
tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat -
dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagidihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat
harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini -
tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat
pada sebuah tanda tanya.
Tapi bukankah kita sudah mencarijawaban, sudah tahu apa yang harus kita contrengjika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi
merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?
Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?